Nazhar, Bukan Sekedar Ta’aruf
Engkaulah itu minyak atar
Meskipun masih tersimpan
Dalam kuntum yang akan mekar
-Iqbal, Javid Namah-
“Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta
kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat
dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga
terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol
kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin
dan bersih.
Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah,
pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini
sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang,
masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah
dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya.
Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!
Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada
Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi
menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air
cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di
kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua.
Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya
piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan
pinjaman padanya.
Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi
bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan
‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita
biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis
licinlah harta orangtuanya!”
Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah.
Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku
terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku
untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun
tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.
Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.
♥♥♥
Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu.
Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak.
Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di
belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin
salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi
keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya
suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya.
Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan
mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa
jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa
yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua
adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka
digugu, ditaati
karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang
semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.
Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling
percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu
berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah
kurang lebih
ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan
’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr.
Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka
serupa; Abu Bakr dijuluki
Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil
Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang
membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan,
”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya,
”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari
Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan
menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang
menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang
nyaris sama dengan pacaran.
Na’udzu billaahi min dzalik.”
Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata
ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Al Hujuraat 13)
♥♥♥
Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya
mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh
resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah
oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat,
pada tajuk
Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah
Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya,
Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia
rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya,
”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”
Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya
itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah
akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah
muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena
ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi
tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan.
Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya
sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya
waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan
sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam
bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang
perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk
menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika
Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada
wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal
yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk
menikahi.
Al Mughirah ibn Syu’bah
Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat
Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering
dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang
shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya,
”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih
langgeng.”
Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang
lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh
wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan
cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon
isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang
Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang
langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An
Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar.
Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah
lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah
ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan
mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan
mestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada
sesama.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar;
berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan
selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..
Keluarkan Kucing dari Karungnya
jangan kau kira cinta datang
dari keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
dan jikalau itu tiada
cinta takkan pernah tercipta,
dalam hitungan tahun, bahkan millenia
-Kahlil Gibran-
Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan
kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena
kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin
menikah dengan kucing.
Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.
Adalah Malcolm Gladwell, wartawan
The New Yorker yang setelah sukses dengan buku
Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya,
Blink: The Power of Thinking without Thinking.
Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama
yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang
dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam
bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya
dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.
Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting.
Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo
Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa
para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya
hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar.
Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan
dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar.
“Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku
The Divine Message of The DNA.
“Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk;
tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita
untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan
otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak
bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta
yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang
kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk
pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal.
Cukup mengetahui yang penting saja.
Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia
persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan
pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus
merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa
memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta
yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon
tak bias memasak?
“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.”
Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga
sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”
Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu
sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria.
Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta.
Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang
berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu
yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak
padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun
keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang
masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi
itu.
Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika
merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba
memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba.
Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu
juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh
melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu
tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.
Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik
itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi
dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak
bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan
bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.
“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang
saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu.
Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda
dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)
Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika
sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu
saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka
akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi
sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan
menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika
sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak
menyatu.
”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam
Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah
persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan
kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam
dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati.
Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan
kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik
pertama
nazhar kita.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai
nazhar;
berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya,
dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta
para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi
bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah
selalu bersamamu.
kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya
ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan
ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan
ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan
tapi satu hal tetap sama
mereka cocok karena bersama bertasbih memuji Allah
seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya